BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan merupakan potensi
atau kekayaan alam yang apabila dikelola dengan baik dan bijak akan memberikan
manfaat yang besar bagi hidup dan kehidupan, tidak saja bagi manusia melainkan
juga bagi seluruh kehidupan di alam ini. Agroforestri adalah salah satu sistem
pengelolaan lahan yang dapat ditawarkan untuk memanfaatkan lahan di bawah
tegakan hutan tanaman yang juga dapat diharapkan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Menurut Alviya dan Suryandari (2006), agroforestri
mempunyai fungsi sosial, ekonomi dan ekologi. Dengan pola agroforestri
diharapkan tujuan pemanfaatan hutan rakyat untuk penanaman kayu penghasil pulp
dapat mengakomodir tujuan utamanya yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dengan tetap mengindahkan prinsip-prinsip kelestarian hutan.
Sistem bertani secara
tradisional pada umumnya menggunakan kombinasi antara pohon, tanaman pertanian
dan ternak, dimana orientasi hasil adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk
hidup. Input dari luar sistem tersebut dapat dikatakan tidak ada, dengan kata
lain bahwa input berasal dari sistem itu sendiri. Sistem yang demikian itu
banyak dikenal dengan sistem pertanian subsisten. Penggunaan lahan dengan
menggunakan kombinasi pohon dan tanaman pertanian (pertanian subsisten) telah
banyak diusahakan sejak pada zaman dahulu baik di negara temperate maupun
tropik.
Di Eropa bertani
tradisional telah ditinggalkan sejak lama dan terakhir pada beberapa daerah di
Jerman pada tahun 1920-an. Akan tetapi sistem tersebut masih berlangsung sampai
saat ini terutama pada daerah tropik. Di daerah tropika baik di Amerika maupun
Asia telah banyak dilakukan penanaman, dengan menggunakan berbagai jenis
tanaman pada satu bidang lahan yang sama.
Berdasarkan konsep
agroforestry secara umum, dimana
agroferstry merupakan pola penggunaan lahan dengan memakai kombinasi tanaman
pohon, pertanian dan atau ternak. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa praktek
dari pada agroforestry telah dilakukan sejak zaman dahulu di hampir seluruh
dunia.
Penerapan agroforestry
telah dilakukan pada bidang kehutanan, khususnya pada saat penanaman yaitu pada
tahun 1806 di Myanmar dengan cara “Taungya” (cara tumpangsari). Di indonesia
cara tumpangsari juga sudah diterapkan mulai tahun 1897. Philosopy dari sistem
“Taungya” adalah membuat tanaman hutan jika mungkin dengan menggunakan tenaga
kerja yang tidak punya lahan dan pengangguran.
Pertambahan penduduk
merupakan hal yang tidak dapat dielakkan dan disisi lain keberadaan lahan tidak
mengalami penambahan, sehingga tekanan terhadap lahan untuk mendukung keperluan
manusia semakin tinggi. Kemajuan pada bidang industri sudah barang tentu akan
mengurangi lahan-lahan pertanian yang relatif subur yaitu dengan mengubahnya
untuk keperluan pendirian pabrik, sarana dan prasarananya. Oleh karena itu
sasaran utama guna mendukung keperluan manusia, disamping intensifikasi lahan
pertanian adalah penggunaan lahan hutan dan lahan marginal untuk menghasilkan
produksi pertanian. Pada kondisi yang demikian itu penerapan sistem
agroforestry tidak dapat dihindari.
Sistem agroforestry
semakin cepat berkembang dengan didukung adanya penelitian-penelitian yang
dilakukan di banyak negara. Di indonesia telah berkembang sejak tahun 1960-an,
agar supaya arah penelitian terarah dengan baik maka didirikanlah suatu
organisasi internasional yang mendukung, merencanakan, mengkoordinasikan pada
tingkat internasional tentang penelitian yang berhubungan sistem penggunaan
lahan pertanian dan kehutanan. Organisasi itu adalah the International Council
for Research in Agroforestry (ICRAF) yang didirikan pada tahun 1977 oleh IDRC.
Sejak itu agroforestry telah menjadi mata kuliah di banyak universitas di
negara berkembang maupun negara maju. Di indonesia telah banyak universitas
yang menjadikan agroforestry menjadi salah satu mata kuliah, seperti UGM, UNIB,
UNMUL, UNBRA, ULAM, IPB dan lainnya.
Keberadaan pohon dalam agroforestri
mempunyai dua peranan utama. Pertama, pohon dapat mempertahankan produksi
tanaman pangan dan memberikan pengaruh positif pada lingkungan fisik, terutama
dengan memperlambat kehilangan hara dan energi, dan menahan daya perusak air
dan angin. Kedua, hasil dari pohon
berperan penting dalam ekonomi rumah tangga petani. Pohon dapat menghasilkan 1) produk yang
digunakan langsung seperti pangan, bahan
bakar, bahan bangunan; 2) input untuk pertanian seperti pakan ternak, mulsa;
serta 3) produk atau kegiatan yang mampu menyediakan lapangan kerja atau
penghasilan kepada anggota rumah tangga. Dengan demikian, pertimbangan sosial
ekonomi dari suatu sistem agroforestri merupakan faktor penting dalam proses
pengadopsian sistem tersebut oleh pengguna lahan maupun pengembangan sistem
tersebut baik oleh peneliti, penyuluh,
pemerintah, maupun oleh petani sendiri.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
yang diambil yaitu :
a.
Apa Pengertian dari Agroforestry?
b.
Bagaimana Sejarah Dari Agroforestry?
c.
Bagaimana konsep dari agroforestry?
d.
Apa saja ruang lingkup Tantangan
Agroforestry?
e.
Apa saja Tantangan Penerapan dari sistem
Agroforestry?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Sejarah Agroforestry
Agroforestry menurut
Huxley (dalam Suharjito et al.) merupakan salah satu sistem penggunaan lahan
yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan
lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan
(pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan)
sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu
dengan komponen lainnya.
Agroforestry telah menarik
perhatian peneliti-peneliti teknis dan sosial akan pentingnya pengetahuan dasar
pengkombinasian antara pepohonan dengan tanaman tidak berkayu pada lahan yang
sama, serta segala keuntungan dan kendalanya. Penyebarluasan agroforestry
diharapkan bermanfaat selain mencegah
perluasan tanah terdegradasi,
melestarikan sumber daya hutan, dan meningkatnya mutu pertanian serta
menyempurnakan intesifikasi dari diversifikasi silvikultur (Hariah et al, 2003).
Pemikiran tentang
pengkombinasian komponen kehutanan dengan pertanian sebenarnya bukan merupakan
hal yang baru. Pohon-pohon telah dimanfaatkan dalam sistem pertanian sejak
pertama kali aktivitas bercocok tanam dan memelihara ternak dikembangkan.
Sekitar tahun 7000 SM terjadi perubahan budaya manusia dalam mempertahankan
eksistensinya dari pola berburu dan mengumpulkan makanan ke bercocok tanam dan
beternak. Sebagai bagian dari proses ini mereka menebang pohon, membakar
serasah dan selanjutnya melakukan budidaya tanaman. Dari sini lahirlah
pertanian tebas bakar yang merupakan awal agroforestry.
Tradisi pemeliharaan pohon dalam
bentuk kebun pada areal perladangan, pekarangan dan tempat-tempat penting
lainnya oleh masyarakat tradisional itu
dikarenakan nilai-nilainya yang dirasakan tinggi sejak manusia hidup
dalam hutan. Menurut Hariah (2003) pada akhir abad XIX, pembangunan hutan
tanam menjadi tujuan utama. Agroforestry
dipraktekkan sebagai sistem pengelolaan lahan. Pada pertengahan 1800-an dimulai
penanaman jati di sebuah daerah di Birma oleh Sir Dietrich Brandis. Penanaman
jati dilakukan melalui taungya, diselang-seling atau dikombinasikan dengan
tanaman pertanian.
Kelebihan sistem ini
bukan hanya dapat menghasilkan bahan pangan, tetapi juga dapat mengurangi biaya
pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman yang memang sangat mahal. Selanjutnya
taungya dikenal di Indonesia sebagai tumpangsari. Banyak ahli yang berpendapat
bahwa sistem taungya adalah cikal bakal agroforestri modern. Agroforestry klasik atau tradisional sifatnya
lebih polikultur dan lebih besar manfaatnya bagi masyarakat setempat
dibandingkan agroforestry modern.
Agroforestry modern hanya melihat komuninasi antara tanaman keras atau
pohon komersial dengan tanaman sela terpilih. Dalam agroforestry modern, tidak
terdapat lagi keragaman kombinasi yang tinggi dari pohon yang bermanfaat atau
juga satwa liar yang menjadi terpadu dari sistem tradisional (Hariah K et al,
2003)
B. Konsep Agroforestry
Agroforestry
secara praktis, telah dilakukan oleh petani dalam pengelolaan lahan sejak zaman
dahulu di hampir seluruh dunia. Perjalanan agroforestry untuk menjadi suatu
pola penggunaan lahan yang diterima oleh segala pihak memerlukan waktu yang
cukup panjang. Pada awal perkembangannya masih banyak yang menanyakan tentang
apa itu agroforestry?
Tantangan utama sistem agroforestry
adalah menerapkan kombinasi pohon
hutan dengan tanaman pertanian, atau ternak, atau keduanya. Kombinasi itu
mungkin secara simultan atau staggered di dimensi waktu dan ruang. Tujuannya
adalah untuk mengoptimalisasi per unit areal produksi yang mengacu terhadap
prinsip dari hasil yang berkelanjutan.
Berikut adalah konsep dari
agroforestry :
- Tanaman berkayu ditanam dengan sengaja pada lahan yang sama dengan tanaman pertanian dan atau peternakan, baik dalam bentuk campuran spasial atau sequensial
- Harus terjadi interaksi baik negatif maupun positif antara komponen sistem yang berkayu dan nir-berkayu, baik secara ekologis maupun ekonomis.
Mengingat
sumber daya manusia dan alam berbeda untuk setiap daerah, maka bentuk agroforestry
yang ada mempunyai karakteristik yang berbeda pula. Oleh karena itu perlu
dicari parameter apa yang dapat digunakan untuk menilai sistem dari
agroforestry. Raintree (1990) mengatakan bahwa paling tidak ada tiga kriteria
yang digunakan untuk menilai sistem agroforestry. Ketiga kriteria adalah produktivitas, keberlanjutan dan adaptabilitas.
Sistem
agroforestry dapat mempertahankan dan meningkatkan produktivitas melalui
berbagai cara baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung
dengan menyumbangkan makanan, makanan ternak, kayu bakar, serat, meningkatkan
produksi total dan lain-lainnya. Sedangkan secara tidak langsung melalui
perbaikan konservasi air dan tanah, memelihara kesuburan tanah, kondisi mikro
klimate yang spesifik, memperkecil resiko kegagalan dan lainnya.
Keberlanjutan
di dalam sistem agroforestry dapat dicapai dengan mengelola dan mempertahankan
kemampuan sumberdaya alam yang tersedia untuk berproduksi secara optimal untuk
jangka waktu yang tidak terbatas, yaitu dengan menggunakan kombinsi tanaman
pohon, pertanian dan ternak. Kesesuaian pengelolaan dan manfaat terhadap
masyarakat lokal merupakan sifat yang harus dimiliki dan melekat pada sistem
agroforestry agar supaya dalam pelaksanaan dapat berjalan dengan lancar. Menurut Hadipurnomo, (1981) agar sasaran agroforestry dapat dicapai maka
pola agroforestry harus memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya:
- Dapat memenuhi kebutuhan penduduk setempat
- Dapat memanfaatkan tenaga kerja yang tersedia secara intensif
- Pola usaha tani agroforestry lebih menguntungkan dari pada pola usaha tani tunggal, ditinjau dari segi produksi dan konservasi lahan
- Keuntungan yang diperoleh harus dapat dinikmati oleh penduduk setempat
- Mudah dilaksanakan berdasarkan kondisi faktor produksi yang ada
C. Ruang Lingkup Tantangan Agroforestry
Pada dasarnya
agroforestry terdiri dari tiga komponen pokok yaitu : kehutanan, pertanian, dan
peternakan. Masing-masing komponen sebenarnya dapat berdiri sendiri-sendiri
sebagai satu bentuk sistem penggunaan lahan. Hanya saja sistem-sistem tersebut
umumnya ditujukan pada produksi satu komoditi khas atau kelompok produk yang
serupa. Menurut Sa’ad (2002) Penggabungan tiga komponen tersebut menghasilkan
beberapa kemungkinan bentuk kombinasi yakni:
1.
Agrosilvikultur merupakan kombinasi
tanaman dan pohon, dimana penggunaan lahan secara sadar untuk memproduksi
hasil-hasil pertaniandan kehutanan.
2.
Silvopastura merupakan kombinasi padang
rumput (makanan ternak dan pohon), pengelolaan lahan hutan yang memproduksi
hasil kayu dengan, dan sekaligus
pemeliharaan ternak.
3.
Agrosilvopastural merupakan kombinasi
tanaman, padang rumput (makanan ternak
dan pohon) pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara
bersamaan dan sekaligus memelihara hewan ternak.
4.
Silvofishery merupakan kombinasi
kegiatan kehutanan dan perikanan.
5.
Apiculture merupakan budi daya lebah
madu yang dilakukan pada komponen kehutanan.
6.
Sericulture merupakan budi daya ulat
sutra yang dilakukan pada komponen kehutanan.
D. Tantangan Penerapan Agroforestry
Keuntungan-keuntungan
yang diperoleh dari penerapan sistem agroforestry akan sangat tergantung pada
kondisi dimana sistem tersebut diterapkan; jadi mungkin tidak semua keuntungan
akan dicapai dengan memuaskan. Pada perkembangan sistem pengelolaan lahan
dengan agroforestry masih banyak mengalami hambatan-hambatan yang perlu
diselesaikan agar supaya agroforestry dapat berhasil. Adapun hambatan atau tantangan tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Kendala dari segi ekologi
Agroforestry
adalah merupakan bentuk penggunaan lahan yang lebih intensif dari pada
kehutanan tradisional dan produksi yang diambil lebih banyak. Kondisi yang
demikian akan mempengaruhi siklus nutrisi dan penambahan pupuk harus dilakukan,
khususnya di lahan marginal. Pada lahan
marginal pemilihan jenis tanaman mungkin terbatas. Beragamnya vegetasi penyusun sistem agroforestry
memungkinkan terjadinya kompetisi diantara spesies untuk sinar matahari,
kelembaban atau nutrisi, atau pengaruh negatif dengan adanya allelopati (bahan
kimia)
2. Kendala dari segi ekonomi
a. Jika sistem agroforestry dikenalkan/diterapkan maka diperlukan adanya
investasi pada awalnya, seperti: bahan tanaman, konservasi lahan, dan pupuk.
Untuk meringankan petani investasi yang diperlukan guna memperlancar
pelaksanaan sistem agroforestry perlu disediakan melalui kredit dengan tingkat
bunga yang rendah.
b. Meskipun hasil yang didapat lebih cepat dari pada tradisional kehutanan,
tetapi pada beberapa sistem agrofoestry yang diterapkan petani harus menunggu
beberapa tahun untuk mendapatkan hasil. Pada kondisi
seperti itu alternatif pemecahan untuk mengatasi keuangan selama masa menunggu
perlu dilakukan.
c. Di daerah yang tekanan penduduknya berat dan tanahnya miskin, pemilikan
lahan mungkin terlalu kecil sebagai suatu unit produksi yang layak. Pada kasus
seperti ini maka usaha kerjasama sangat diperlukan guna memberikan kesempatan
pekerjaan.
3. Kendala dari segi social
a. Agroforestry adalah merupakan suatu sistem penggunaan lahan yang komplek
dan untuk menerapkan dengan baik diperlukan pengetahuan bertani yang memadai.
Meskipun pengetahuan dan pengalaman tentang kehutanan tradisional telah ada
akan tetapi untuk mengembangkan dan menerapkan agroforestry sangat diperlukan
pengetahuan tambahan
b. Agroforestry merupakan pola penggunaan lahan yang membutuhkan tenaga kerja
banyak dan karena beragamnya sifat-sifat dari jenis-jenis tanaman yang
digunakan akan mengalami kesulitan di dalam menselaraskan tenaga kerja atau
pengenalan mekanisme di daerah yang memiliki keterbatasan tenaga kerja. Namun
demikian di daerah yang kepadatan penduduknya tinggi, teknik pengelolaan dengan
menggunakan tenaga kerja banyak akan sangat menguntungkan. Lebih jauh tidak hanya tenaga kerja yang dipertimbangkan akan tetapi juga
produktivitas tenaga kerja.
c. Sebahagian hasil yang diperoleh dengan sistem agroforestry akan didapat
beberapa tahun atau setelah masa tunggu. Oleh sebab itu petani atau pemrakarsa
harus dapat meyakinkan untuk memperoleh hasil dalam jangka pendek jika ingin
menanamkan investasi untuk jangka panjang.
d. Khusus untuk sistem agroforestry yang baru diterapkan keterlibatan
masyarakat sekitar menjadi sangat penting tidak hanya penyuluhan akan tetapi
keterlibatan secara aktif dari petani di dalam perencanaan, organisasi dan
pelaksanaan proyek
4. Kendala dari segi organisasi
a. Apabila sebagian atau seluruh produksi yang dihasilkan oleh sistem
agroforestry diarahkan ke pasar, maka lembaga yang baik harus didirikan untuk
pengangkutan dan pemasaran.
b. Beberapa fase dari persiapan dan pelaksanaan sistem egroforestry memerlukan
pengelolaan yang baik dan harus dikombinasikan dengan penyuluhan yang cukup
terhadap masyarakat sekitar dan bentuk keterlibatan yang tepat. Untuk mencapai
semua itu diperlukan suatu organisasi yang mantap dan memiliki perangkat lunak
dan keras yang memadai.
5. Kendala dari segi ilmu pengetahuan
Beberapa
prinsip sistem agroforestry telah diterima secara umum akan tetapi masih banyak
kekurangan pada ilmu pengetahuan dan sedikitnya pengalaman untuk menerapkan dan
mengelola sistem agroforestry yang spesifik pada berbagai kondisi yang berbeda.
Klasifikasi
sistem agroforestry keberadaan sistem agroforestry sangat beragam baik
penyusunannya dan pengelolaannya. Untuk memudahkan dan memahami secara mendalam
tentang sistem agroforestry maka diperlukan pengelompokkan-pengelompokkan
sistem yang ada. Menurut Nair (1990 dan 1993) tujuan dilakukan
pengklasifikasian adalah secara mendasar untuk mendapatkan kerangka kerja. Akan tetapi tergantung pada arahan dan titik berat dari strategi dan
kegiatan perencanaan, struktur dari kerangka kerja akan dapat bervariasi. Pada dasarnya suatu klasifikasi harus mencakup:
a.
Cara yang logis
dalam mengelompokkan faktor utama dimana produksi dari sistem bergantung.
b.
Menunjukkan
bagaimana sistem dikelola (menunjukkan kemungkinan intervensi pengelolaan untuk
meningkatkan efisiensi sistem)
c.
Menawarkan
keluwesan di dalam pengelompokkan informasi
d.
Mudah
dimengerti dan dilakukan (secara praktis)
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Pada dasarnya agroforestry
terdiri dari tiga komponen pokok yaitu : kehutanan, pertanian, dan
peternakan. Agroforestry
utamanya diharapkan dapat membantu
mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup
masyarakat. Sistem keberlanjutan ini dicirikan
antara lain oleh tidak adanya penurunan produksi
tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya pencemaran lingkungan.
Tantangan utama sistem agroforestry adalah menerapkan kombinasi pohon hutan dengan tanaman pertanian, atau ternak,
atau keduanya. Kombinasi itu mungkin secara simultan atau staggered di dimensi
waktu dan ruang. Tujuannya adalah untuk mengoptimalisasi per unit areal
produksi yang mengacu terhadap prinsip dari hasil yang berkelanjutan.
B. Saran
Kami sadari
bahwa makalah kelompok kami masih jauh dari kata sempurna, untuk itu diharapkan
dari pihak terkait untuk memberikan saran agar kedepannya bisa lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Suharjito, Didik, Leti Sundawati,
Suryanto, Sri Rahayu Utami. 2003. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya
Agroforestri: PDF. ICRAF. Bogor
Suyanto S, Khususiyah N,
Permana RP and MD Angeles. 2002. The Role of
Land Tenure in Improving Sustainbale Land Management and Environment in
Forest Zone. Draft report of CIFOR/ICRAF
fire project.
Schoorl JW. 1970.
Muyu Land Tenure. New Guinea
Research Bulletin No. 38:
34-41. The New Guinea Research Unit,
The Australian National University. Canbera.
Suryanata K. 2002.
Dari Pekarangan menjadi Kebun Buah-Buahan: Stabilisasi
Sumber daya dan Diferensiasi Ekonomi di Jawa. Dalam Murray Li T (Penyunting). Proses Transformasi
Daerah Pedalaman di Indonesia. Yayasan
Obor Indonesia.
Teluma, D.L. 2002.
Pengembangan Program Wanatani.
Dalam Roshetko JM et
al. (editor). Wanatani di Nusa
Tenggara. ICRAF dan Winrock
International. Bogor.
Van der Poel P and H van Dijk. 1987.
Household Economy and Tree Growing in
Upland Central Java. Agroforestry
Systems No. 5: 169-184. Martinus Nijhoff
Publishers. Dordrecht. The Netherlands.
Wijayanto N. 2001.
Faktor dominan dalam sistem pengelolaan hutan
kemasyarakatan. Disertasi S3, PPS-IPB.
Bogor.
Comments
Post a Comment