Dalam sebuah proses pembelajaran
komponen yang turut menentukan keberhasilan sebuah proses adalah evaluasi.
Melalui evaluasi orang akan mengetahui sampai sejauh mana penyampaian
pembelajaran atau tujuan pendidikan atau sebuah program dapat dicapai sesuai
dengan tujuan yang diinginkan.
Evaluasi merupakan salah satu
kegiatan utama yang harus dilakukan dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran.
Melalui Evaluasi, kita akan mengetahui perkembangan hasil belajar, intelegensi,
bakat khusus, minat, hubungan social, sikap dan kepribadian siswa atau peserta
didik serta keberhasilan sebuah program.
Dalam dunia pendidikan dan
pembelajaran ada beberapa istilah yang sering digunakan, baik secara bersamaan
maupun secara terpisah. Istilah tersebut adalah pengukuran. penilaian, dan
evaluasi. Ketiga istilah tersebut memiliki perbedaan.
Mengacu pada asumsi bahwa
pembelajaran merupakan sistem yang terdiri atas beberapa unsur, yaitu masukan,
proses dan hasil; maka terdapat tiga jenis evaluasi sesuai dengan sasaran
evaluasi pembelajaran, yaitu evaluasi masukan, proses dan hasil pembelajaran.
Terkait dengan ketiga jenis evaluasi
pembelajaran tersebut, dalam praktek pembelajaran secara umum pelaksanaan
evaluasi pembelajaran menekankan pada evaluasi proses pembelajaran dan evaluasi
hasil belajar. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa pelaksanaan kedua jenis
evaluasi tersebut merupakan komponen system pembelajaran yang sangat penting.
Evaluasi kedua jenis komponen yang
dapat dipergunakan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan pelaksanaan dan
hasil pembelajaran. Selanjutnya masukan tersebut pada gilirannya dipergunakan
sebagai bahan dan dasar memperbaiki kualitas proses pembelajaran menuju
keperbaikan kualitas hasil pembelajaran. Untuk itu, penulis dalam makalah ini akan
memberi gambaran mengenai Evaluasi Pembelajaran agar para tenaga pendidik dapat
mengetahui hasil pembelajaran yang telah dilakukan dan sebagai bahan untuk
memperbaiki kualitas hasil pembelajaran tersebut.
Evaluasi kurikulum sendiri berisikan
hakekat evaluasi kurikulum, dimensi evaluasi kurikulum, prinsip-prinsip
evaluasi kurikulum, fungsi, dan prosedur evaluasi kurikulum. Evaluasi kurikulum
dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari
berbagai kriteria, evaluasi kurikulum juga suatu kebijakan publik, dimana
dibanyak negara keberadaan evaluasi didasari oleh ketentuan bahwa pengembangan
kurikulum terbuka untuk dievaluasi. Agar kurikulum yang baik dapat tercapai,
harus diimplementasikan dengan baik, kreatif, dan inovatif. Untuk dapat
mengetahui tingkat tersebut harus melewati satu tahap yang dinamakan evaluasi
kurikulum.
B. Rumusan Masalah
Dari Latar Belakang diatas maka
dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa
Pengertian Evaluasi Kurikulum ?
2. Apa Peranan
Evaluasi Kurikulum ?
3. Apa Aspek
Kurikulum yang dinilai ?
4. Model –
model Evaluasi Kurikulum ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Evaluasi Kurikulum
Pemahaman mengenai
pengertian evaluasi kurikulum dapat berbeda-beda sesuai dengan pengertian kurikulum
yang bervariasi menurut para pakar kurikulum. Oleh karena itu penulis mencoba
menjabarkan definisi dari evaluasi dan definisi dari kurikulum secara per kata
sehingga lebih mudah untuk memahami evaluasi kurikulum.Pengertian evaluasi
menurut joint committee, 1981 ialah penelitian yang sistematik atau yang
teratur tentang manfaat atau guna beberapa obyek. Purwanto dan Atwi Suparman,
1999 mendefinisikan evaluasi adalah proses penerapan prosedur ilmiah untuk
mengumpulkan data yang valid dan reliabel untuk membuat keputusan tentang suatu program. Rutman and Mowbray 1983
mendefinisikan evaluasi adalah penggunaan metode ilmiah untuk menilai
implementasi dan outcomes suatu program
yang berguna untuk proses membuat keputusan. Chelimsky 1989 mendefinisikan evaluasi
adalah suatu metode penelitian yang sistematis untuk menilai rancangan,
implementasi dan efektifitas suatu program. Dari definisi evaluasi di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi adalah penerapan prosedur ilmiah yang
sistematis untuk menilai rancangan, implementasi dan efektifitas suatu program.
Berikut pembagiannya :
a.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu (Pasal 1 Butir 19 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional);
b.
Seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai isi dan bahan pembelajaran serta metode yang digunakan sebagai pedoman
menyelenggarakan kegiatan pembelajaran
(Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 725/Menkes/SK/V/2003 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelatihan di bidang Kesehatan.).
c.
Kurikulum pendidikan tinggi adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi maupun bahan kajian dan
pelajaran serta cara penyampaian dan penilaiannya yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di perguruan tinggi (Pasal 1
Butir 6 Kepmendiknas No. 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum
Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa);
d.
Menurut Grayson (1978), kurikulum adalah
suatu perencanaan untuk mendapatkan keluaran (out- comes) yang diharapkan dari
suatu pembelajaran. Perencanaan tersebut disusun secara terstruktur untuk suatu
bidang studi, sehingga memberikan pedoman dan instruksi untuk mengembangkan
strategi pembelajaran (Materi di dalam kurikulum harus diorganisasikan dengan
baik agar sasaran (goals) dan tujuan (objectives) pendidikan yang telah
ditetapkan dapat tercapai;e.
Sedangkan menurut Harsono (2005), kurikulum merupakan gagasan pendidikan
yang diekpresikan dalam praktik. Dalam bahasa latin, kurikulum berarti track
atau jalur pacu. Saat ini definisi kurikulum semakin berkembang, sehingga yang
dimaksud kurikulum tidak hanya gagasan pendidikan tetapi juga termasuk seluruh
program pembelajaran yang terencana dari suatu institusi pendidikan.
B. Peranan Evaluasi Kurikulum
Evaluasi kurikulum
memegang peran penting baik dalam penentuan kebijakansanaan pendidikan pada
umumnya, maupun dalam pengambilan keputusan dalam kurikulum. Hasil-hasil
evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijaksanaan pendidikan
dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijakan
pengembangan sistem pendidikan dan pegembangan model kurikulum yang digunakan.
Hasil-hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala
sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya, dalam memahami dan membantu
perkembangan siswa, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu
pelajaran, cara penilaian, serta fasilitas pendidikan lainnya.
Beberapa hasil evaluasi
menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan keputusan. Pihak pengambil
keputusan dalam pelaksanann pendidikan dan kurikulum adalah guru, murid, orang
tua, kepala sekolah, para inspektur, pengembang kurikulum dan lain-lain. Namun
demikian pada prinsipnya tiap pengambil keputusan dalam proses evaluasi
memegang peran yang berbeda, sesuai dengan posisinya.
Salah satu kesulitan
yang dihadapi dalam penggunaan hasil evaluasi bagi pengambilan keputusan adalah
hasil evaluasi yang diterima oleh berbagai pihak pengambil keputusan adalah
sama. Masalah yang timbul adalah apakah hasil evaluasi tersebut dapat
bermanfaat bagi semua pihak. Jawabannya belum tentu, karena suatu informasi
mungkin lebih bermanfaat bagi pihak tertentu tetapi kurang bermanfaat bagi
pihak yang lain.
Kesatuan penilaian
hanya dapat dicapai melalui suatu konsesus. Konsesus tersebut berupa kerangka
kerja penelitian yang dipusatkan pada tujuan-tujuan khusus, pengukuran prestasi
belajar yang bersifat behavioral, analisis statistik dari prestasi tes post
tes. Secara umum, langkah-langkah pokok evaluasi pendidikan meliputi tiga
kegiatan utama yaitu persiapa, pelaksanaan dan pengolahan hasil.
Peran evaluasi kurikulum dalam
pendidikan berkenaan dengan tiga hal, yaitu sebagai berikut.
a.
Konsep sebagai moral judgement
b.
Konsep utama dalam evaluasi adalah
masalah nilai.
c.
Evaluasi dan penentuan keputusan
d.
Evaluasi dan konsesus nilai
Kesatuan penilaian
dapat dicapai melalui suatu konsensus. Kosensus tersebut berupa kerangka kerja
penelitian yang dipusatkan pada tujuan-tujuan khusus, pengukuran prestasi
belajar behavioral, analisis statistik dari prestasi tes dan post tes. Ada dua
dua kriteria dalam penilaian kurikulum:
Ø Kriteria
berdasarkan tujuan yang telah ditentukan atau sering disebut criteria patokan
Ø Kriteria
berdasarkan norma-norma atau standar yang ingin dicapai senagaimana adanya.
Berdasarkan Konsep dan Kriteria kurikulum diatas,
Peranan kurikulum terbagi 3 yaitu :
1. Peranan
konservatif
Peranan konservatif
menekankan bahwa kurikulum dapat dijadikan sebagai sarana untuk mentransmisikan
nilai-nilai warisan budaya masa lalu yang dianggap masih relevan dengan masa
kini kepada anak didik sebagai generasi penerus.
2. Peranan
kreatif
Perkembangan ilmu
pengetahuan dan aspek-aspek lainnya senantiasa terjadi setiap saat. Kurikulum
melakukan kegiatankegiatan kreatif dan konstruktif, dalam arti menekankan bahwa
kurikulum harus mampu mengembangkan sesuatu yang baru. Kurikulum harus dapat
membantu setiap peserta didik dalam mengembangakan potensi dirinya.
3. Peranan
kritis dan evaluatif
Peranan ini
dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa nilainilai dan budaya yang hidup
dalam masyarakat senantiasa mengalami perubahan, sehingga pewarisan nilai-nilai
dan budaya masa lalu kepada peserta didik perlu disesuaikan kondisi yang ada di
masa sekarang.
C. Aspek
Kurikulum yang Dinilai
Aspek-aspek
yang harus dievaluasi, menurut Arich Lewy (1997) sesuai dengan tahap-tahap
dalam pengembangan kurikulum. Evaluasi ini menjadi sangat komprehensif dan
melibatkan berbagai penelitian. Aspek-aspek itu adalah:[6]
1. Penentuan Tujuan Umum
Tujuan
kurrikulum bertalian erat dengan nilai-nilai, aliran-aliran, dan
kekuatan-kekuatan dalam masyarakat. Sering tujuan umum pendidikan ditentukan
oleh pemerintah. Untuk menilainya diperlukan bantuan para ahli sosiologi,
ekonomi, antropologi, psikologi dan ahli ilmu sosial lainnya yang lebih mampu
mengungkapkan fakta-fakta tentang kecendurungan demografi, kebutuhan tenaga
kerja, perubahan ekonomi dan nilai-nilai budaya di dalam masyarakat. Mereka
akan menggunakan data statistik yang ada pada pemerintah.
Jadi
yang perlu dinilai ialah apakah tujuan kurikulum telah sesuai dengan
nilai-nilai bangsa, politik pemerintah dalam pembnagunan negara, perkembangan
zaman, aspirasi masyarakat akan tetapi juga kebutuhan anak dalam menghadapi hidupnya
di masa mendatang.
2. Perencanaan
Tujuan
pendidikan yang telah dirumuskan harus diterjemahkan ke dalam kegiatan-kegiatan
kurikuler yang lebih terinci dalam bentuk mata pelajaran, bahan tertentu,
proses belajar sehingga team pengembang kurikulum harus mulai pula menulis
satuan-satuan pelajaran, memikirkan
alat-alat pengajaran serta kegiatan-kegiatan belajar siswa, sarana dan
prasarana, serta dipikirkan proses belajar mengajar yang paling serasi.
Kurikulum harus diperhatikan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Sehingga sebelum pengembangan kurikulum, harus diadakan perencanaan-perencanaan
bagian-bagian dari kurikulum sehingga kurikulum bisa sesuai dengan kebutuhan,
perkembangan dari masyarakat.
3. Uji-coba
dan Revisi
Suatu
kurikulum sering berupa buatan “dibelakang meja tulis” dan dilaksanakan atas
keberhasilan panitia penyusunan kurikulum untuk memperoleh persetujuan resmi
dari dari pihak atasan yang berwenag atas pendidikan, sehingga kurikulum dapat
dikatakan subjektif. Kurikulum serupa itu masih dapat diterima bila diharapkan
agar setiap anak belajar dalam rangka kewajiban belajar sampai usia 12 bahkan
ada sampai 15 atau 18 tahun, maka penyusunan kurikulum yang sesuai bagi siswa
yang berbeda-beda latar belakang sosial, bakat, minat dan kemampuannya itu
dapat dipecahkan secara subjektif saja.
Bila
dipertimbangkan pula bahwa pendidikan itu berlangsung dalam masyarakat yang
dinamis dalam dunia yang kompleks maka pengembangan kurikulum harus ditangani
secara lebih ilmiah, dengan mengumpulkan data empiris melalui pengamatan dan
eksperimentasi. Maka tiap pembaharuan kurikulum hendaknya melalui tahap uji
coba dengan sampel terbatas untuk melihat kelemahan-kelemahan yang harus
direvisi. Berbagai alat test formatif diperlukan untuk itu di samping
mengobservasikan proses belajar-mengajar yang berlangsung didalam kelas, maupun
luar kelas yang dituangkan dalam bentuk laporan. Dapat juga diminta pendapat
dan penilaian para siswa sendiri tentang pengalaman belajar mereka dengan
kurikulum baru itu, dari pendapat guru, ahli bidang disiplin ilmu, ahli
psikologi dan para pendidik. Berdasarkan uji coba itu diadakan revisi dan
perubahan program pelajaran yang masih dapat lagi diuji-cobakan.
4. Uji
Lapangan
Setelah
diperoleh program yang dianggap cukup mantap berdasarkan uji-coba, maka tiba
waktunya untuk melaksanakannya dengan sampel random yang lebih luas sehingga
diperoleh situasi yang menyerupai situasi lapangan yang sebenarnya.
Bila
uji-coba dilakukan untuk menemukan kelemahan-kelemahan program, maka pada uji
lapangan dipelajari kondisi-kondisi dimana kurikulum itu dapat dijalankan agar
berhasil baik. Diperhatikan misalnya kesiapan tenaga pengajar, administrasi,
murid, keadaan dan lokasi sekolah dikota atau pedesaan, besar sekolah,
fasilitas, keadaan sosial-ekonomi , dan sebagainya. Makin besar
heterogenitasheterogenitas populasi sekolah makin besar pula sampel yang
diperlukan.
5. Pelaksanaan
Kurikulum
Pelaksanaan
suatu kurikulum yang baru harus disertai oleh berbagai perubahan lainnya,
misalnya: pendidikan guru, pre-service maupun in-service, metode mengajar, buku
pelajaran, serta alat-alat instruksional lainnya. Bila bahannya baru, seperti
matematika modern, maka guru-guru perlu mendapat penataran sehingga dalam
pelaksanaan kurikulum baru guru sudah menguasai dan mampu mengajarkan pelajaran
kepada siswa dengan baik dan profesional.
Dalam
pelaksanaan kurikulum baru perlu adanya kerja sama dan bantuan dari pihak-pihak
dari pendidikan (komite, kepala sekolah, guru) maupun dari pihak orang tua dan
masyarakat umum. Salah satu aspek yang sangat penting namun sering kurang
diperhatikan ialah sistem ujian lokal maupun nasional. Sistem ujian harus disesuaikan
dengan kurikulumnya. Kurikulum yang misalnya mengutamakan proses tidak akan
dapat berhasil baik bila evaluasi senantiasa mementingkan produk berupa fakta,
informasi, dan pengetahuan lepas-lepas.
D. Model-model
Evaluasi Kurikulum
1. Evaluasi Model Penelitian
Model
evaluasi kurikulum yang menggunakan model peneltian didsarakan atas teori dan
metode tes psikologis serta eksperimen lapangan. Tes psikologis atau tes
psikometrik pada umumnya mempunyai dua bentuk, yaitu tes intelegensi yang
ditujukan untuk mengukur kemampuan bawaan, serta tes hasil belajar yang
mengukur perilaku skolastik.
Eksperimen
lapangan dalam pendidikan, dimulai tahun 1990 dengan menggunakan metode yang
biasa digunakan dalam penelitian botani pertanian. Para ahli botani pertanian
mengadakan percobaan untuk mengetahui produktivitas bermacam-macam benih.
Beberapa macam benih ditanam pada petak-petak tanah yang memiliki kesuburan dan
lain-lain yang sama. Dari percobaan tersebut dapat diketahui benih mana yang
paling produktif. Percobaan serupa dapat juga digunakan untuk mengetahui
pengaruh tanah, pupuk dan sebagainya terhadap produktivitas suatu macam benih.
Model
eksperimen dalam botani pertanian dapat digunakan dalam pendidikan, anak dapat
disamakan dengan benih, sedang kurikulum serta berbagai fasilitas serta sistem
sekolah dapat disamakan dengan tanah dan pemeliharaanya. Untuk mengetahui
tingkat kesuburan benih (anak) serta hasil yang dicapai pada akhir program
percobaan dapat digunakan tes (pre test dan post test).
Comparative
approach dalam evaluasi. Salah satu pendekatan dalam evaluasi yang menggunakan
eksperimen lapangan adalah mengadakan pembandingan antara dua macam kelompok
anak, umpamanya yang menggunakan dua metode belajar yang berbeda. Kelompok
pertama belajar membaca dengan metode global dan kelompok lain menggunakan
metode unsur. Kelompok mana yang lebih baik atau lebih berhasil? Apakah
keberhasilan metode tersebut dapat ditransfer ke metode yang lain? Rancangan
penelitian ini membutuhkan persiapan yang sangat teliti dan rinci, besarnya
sampel, variabel yang terkontrol, hipotesis, treatment, tes hasil belajar dan
sebagainya, peerlu dirumuskan secara tepat dan rinci.
Ada
beberapa kesulitan yang dihadapi dalam eksperimen tersebut. Pertama, kesulitan
administratif, sedikit sekali sekolah yang bersedia dijadikan sekolah
eksperimen. Kedua, masalah teknis dan logis, yaitu kesulitan menciptakan
kondisi kelas yang sama untuk kelompok-kelompok yang diuji. Ketiga, sukar untuk
mencampurkan guru-guru mengajar pada kelompok eksperimen dengan kelompok
kontrol, pengaruh guru-guru tersebut sukar dikontrol. Keempat, ada keterbatasan
mengenai manipulasi eksperimen yang dapat dilakukan. Dalam botani pertanian
dengan rancangan yang sangat sempurna dapat memanipulasi eksperimen sampai 25
treatment, tetapi dalam penelitian pendidikan tidak mungkin dapat melakukan
treatment sebanyak itu.
2. Evaluasi
Model Objektif
Evaluasi
model objektif (model tujuan) berasal dari Amerika Serikat. Perbedaan model
objektif dengan model komparatif adalah dalam dua hal. Pertama dalam model
objektif, evaluasi merupakan bagian yang sangat penting dari proses
pengembangan kurikulum. Para evaluator juga penting mempunyai peranan
menghimpun pendapat-pendapat orang luar tentang inovasi kurikulum yang
dilaksanakan. Evaluasi dilakukan pada akhir pengembangan kurikulum, kegiatan
penilaian ini sering disebut evaluasi sumatif. Dalam hal-hal tertentu sering
evaluator bekerja sebagai bagian dari tim pengembang. Informasi-informasi yang
diperoleh dari hasil penilaiannya digunakan untuk penyempurnaan inovasi yang
sedang berjalan.
Evaluasi
ini sering disebut evaluasi formatif. Kedua, kurikulum tidak dibandingkan
dengan kurikulum lain tetapi diukur dengan seperangkat objektif (tujuan
khusus). Keberhasilan pelaksanaan kurikulum diukur oleh penugasan siswa akan
tujuan-tujuan tersebut. Para pengembang kurikulum yang menggunakan sistem
intruksional (model objektif) menggunakan standar pencapaian tujuan-tujuan
tersebut. Tujuan dari comparative approach adalah menilai apakah kegiatan yang
dilakukan kelompok eksperimen lebih baik daripada kelompok kontrol. Oleh karena
itu, kedua kelompok tersebut harus ekuivalen, tetapi dalam model objektif hal
itu tidak menjadi soal.
Ada beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi oleh tim pengembang model objektif.
Ø Ada kesepakatan tentang tujuan-tujuan kurikulum,
Ø Merumuskan tujuan-tujuan tersebut dalam perbuatan
siswa,
Ø Menyusun materi kurikulum yang sesuai dengan tujuan
tersebut,
Ø Mengukur kesesuaian antara perilaku siswa dengan
hasil yang diinginkan.
Pendekatan
inilah yang digunakan oleh Ralph Taylor (1930) dalam menyusun tes dengan titik
tolak pada perumusan tujuan tes, sebagai asal mula pendekatan sistem (system
approach). Pada tahun 1950-an Benyamin S. Bloom dengan kawan-kawannya menyusun
klasifikasi sistem tujuan yang meliputi daerah-daerah belajar (cognitive
domain). Mereka membagi proses mental yang berhubungan dengan belajar tersebut
dalam 6 kategori, yaitu knowledge, comprehension, application, analysis,
synthesis dan evaluation. Mereka membagi-bagi lagi tujuan-tujuan tersebut pada
sub-tujuan yang lebih khusus. Perumusan tujuan-tujuan dari Bloom dan
kawan-kawan belum sampai pada perumusan tujuan yang bersifat behavioral, untuk
itu diperlukan perumusan lebih lanjut yang sangat khusus dan bersifat behavioral.
Dasar-dasar
teori Tylor dan Bloom menjadi prinsip sentral dalam berbagai rancangan
kurikulum, dan mencapai puncaknya dalam sistem belajar berprogram dan sistem
intruksional. Sistem pengajaran yang terkenal adalah IPI (Indvidually
Prescribed Instruction), suatu program yang dikembangkan oleh Learning Research
and Development Centre Universitas Pittsburg. Dalam IPI anak mengikuti
kurikulum yang memiliki 7 unsur:
Ø Tujuan-tujuan pengajaran yang disusun dalam
daerah-daerah, tingkat-tingkat dan unit-unit,
Ø Suatu prosedur program testing,
Ø Pedoman prosedur penulisan,
Ø Materi dan alat-alat pengajaran,
Ø Kegiatan guru dalam kelas,
Ø Kegiatan murid dalam kelas, dan
Ø Prosedur pengelolaan kelas.
Tes
untuk mengukur prestasi belajar anak merupakan bagian integral dari kurikulum.
Tiap butir tes berkenaan dengan keterampilan, unit atau tingkat tertentu dari
tujuan khusus. Untuk mengikuti program pendidikan, siswa harus mengambil dulu
tes penempatan, untuk menentukan dimana mereka harus mulai belajar. Kemajuan
siswa dimonitor oleh guru dengan memberikan tes yang mengukur tingkat
penguasaan tujuan-tujuan khusus melalui pre test dan post test. Siswa dianggap
menguasai suatu unit bila memperoleh skor minimal 80. Bila ini sudah dikuasai
berarti penguasaan siswa sudah sesuai dengan kriteria.
3. Model
Campuran Multivariasi
Evaluasi
model perbandingan (comparative approach) dan model Tylor dan Bloom melahirkan
model evaluasi campuran multivariasi, yaitu strategi evaluasi yang menyatukan
unsur-unsur dari kedua pendekatan tersebut. Strategi ini memungkinkan
pembandingan lebih dari satu kurikulum dan secara serempak keberhasilan tiap
kurikulum diukur berdasarkan kriteria khusus dari masing-masing kurikulum.
Seperti
halnya pada eksperimen lapangan serta usaha-usaha awal dari Tylor dan Bloom,
metode ini pun terlepas dari proyek evaluasi. Metode-metode tersebut masuk ke
bidang kurikulum setelah komputer dan program paket berkembang yaitu tahun
1960. Program paket berisi program statistik yang sederhana yang tidak
membutuhkan pengetahuan komputer untuk menggunkannya. Dengan berkembangnya
penggunaan komputer memungkinkan studi lapangan tidak dihambat oleh kesalahan
dan kelambatan. Semua masalah pengolahan statistik dapat dikerjakan dengan
komputer.
Langkah-langkah
model multivariasi tersebut adalah sebagai berikut:
Ø Mencari sekolah yang berminat untuk
dievaluasi/diteliti,
Ø Pelaksanaan program. Bila tidak ada pencampuran
sekolah tekanannya pada partisipasi yang optimal,
Ø Sementara tim menyusun tujuan yang meliputi semua
tujuan dari pengajaran umpamanya dengan metode global dan metode unsur, dapat
disiapkan tes tambahan.
Ø Bila semua informasi yang diharapkan telah
terkumpul, maka mulailah pekerjaan komputer.
Ø Tipe analisis dapat juga digunakan untuk mengukur
pengaruh bersama dari beberapa variabel yang berbeda.
Beberapa
kesulitan dihadapi dalam model campuran multivariasi ini. Kesulitan pertama,
adalah diharapkan memberikan tes statistik yang signifikan. Maka untuk itu
diperlukan 100 kelas dengan 10 pengukuran, dan ini lebih memungkinkan daripada
10 kelas dengan 10 pengukuran. Jadi model multivariasi ini lebih sesuai bagi
evaluasi kurikulum skala besar. Kesulitan kedua adalah terlalu banyaknya
variabel yang perlu dihitung pada suatu saat, kemampuan komputer hanya sampai
40 variabel, sedangkan dengan model ini dapat dikumpulkan 300 variabel.
Kesulitan ketiga, meskipun model multivariasi telah mengurangi masalah kontrol
berkenaan dengan eksperimen lapangan tetapi tetap mengahadapi masalah-masalah
pembandingan.
Model-model
evaluasi kurikulum tersebut berkembang dari dan digunakan untuk mengevaluasi
model atau pendekatan kurikulum tertentu. Model perbandingan lebih sesuai untuk
mengevaluasi pengembangan kurikulum yang menekankan isi (Content based
curriculum), model tujuan lebih sesuai
digunakan dalam pengembangan kurikulum yang menggunakan pendekatan
tujuan (Goal based curriculum), model campuran dapat digunakan untuk
mengevaluasi baik kurikulum yang menekankan isi, tujuan maupun situasi
(Situation based curriculum).
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Evaluasi
kurikulum sebagai usaha sistematis mengumpulkan informasi mengenai suatu
kurikulum untuk digunakan sebagai pertimbangan mengenai nilai dan arti dari
kurikulum dalam suatu konteks tertentu.
Peranan
evaluasi kebijaksanaan dalam kurikulum khususnya pendidikan umumnya minimal
berkenaan dengan tiga hal, yaitu : evaluasi sebagai moral judgement, evaluasi
dan penentuan keputusan, evaluasi, dan konsensus nilai.
Model-model
evaluasi kurikulum meliputi: (1). Evaluasi Model Penelitian (Perbandingan),
(2). Evaluasi Model Objektif (Tujuan) dan (3). Model Campuran Multivariasi.
Model-model
evaluasi kurikulum berkembang dari dan digunakan untuk mengevaluasi model atau
pendekatan kurikulum tertentu. Model perbandingan lebih sesuai untuk
mengevaluasi pengembangan kurikulum yang menekankan isi (Content based
curriculum), model tujuan lebih sesuai
digunakan dalam pengembangan kurikulum yang menggunakan pendekatan
tujuan (Goal based curriculum), model campuran dapat digunakan untuk
mengevaluasi baik kurikulum yang menekankan isi, tujuan maupun situasi
(Situation based curriculum).
B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih ada
kekurangan baik isi ataupun penulisan, untuk itu kami harap pihak terkait dapat
memberikan saran dan motivasi agar makalah yang baik akan muncul dikemudian
hari.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, S. Hamid. 2008. Evaluasi
Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Nasution, S. 1993. Pengembangan
Kurikulum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Sukmadinata, N.S. 2013. Pengembangan Kurikulum
Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
S, Hamid Hasan, Evaluasi Kurikulum, PT.
Remaja Rosdakrya, Bandung, 2008, hlm. 33.
Comments
Post a Comment