BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan merupakan salah satu sumber
kekayaan alam dinegara kita yang bermanfaat secara ekonomi salah satunya yaitu
penghasil devisa. Hutan mampu memberikan mamfaat yang besar dan beraneka ragam
bagi makhluk hidup. Karena hutan memiliki mamfaat sedemikian besarnya, maka
manusia perlu mengelola hutan agar dapat memberikan mamfaat yang semaksimal
mungkin tanpa mengabaikan kelestariannya.
Menurut Bruenig (1996) , Hutan
adalah suatu bidang lahan yang tertutupi oleh pohon-pohon yang dapat membentuk
keadaan iklim tegakan (iklim mikro di dalam hutan), termasuk bagian bidang
lahan bekas tebangan melalui tebang habis, di dalam wilayah hutan tetap pada
tanah negara atau tanah milik, yang setelah pemanenan (penebangan) terhadap
tegakan hutan yang terdahulu, dilakukan pembuatan dan pemeliharaan permudaan
alam atau penghutanan kembali.
PWH adalah kegiatan penyediaan
prasarana wilayah bagi kegiatan produksi kayu, pembinaan hutan, perlindungan
hutan, inspeksi kerja, transportasi sarana kerja, dan komunikasi antar pusat
kegiatan. PWH diwujudkan oleh penyediaan jaringan angkutan, barak kerja, dan
penimbunan kayu. Jalan hutan adalah jalan angkutan yang diperlukan untuk
mengangkut kayu/ hasil hutan ke tempat pengumpulan hasil hutan (TPn/ TPK) atau
ke tempat pengolahan hasil hutan. Jalan induk adalah jalan hutan yang dapat
dipergunakan untuk kegiatan pengusahaan hutan selama jangka waktu pengusahaan
hutan (Dephut 1993).
PWH adalah kegiatan kehutanan yang
menyediakan prasarana/ infrastruktur (jaringan jalan, log pond,base camp induk
dan base camp cabang, base camp pembinaan hutan, tempat penimbunan kayu/ TPK,
tempat pengumpulan kayu/ TPn, jembatan dan gorong-gorong, dan menara pengawas)
dalam melancarkan kegiatan pengelolaan hutan. Pada Pengelolaan hutan lestari,
prasarana PWH yang dibangun harus bersifat permanen karena peranan PWH dalam
pengelolaan hutan lestari adalah harus dapat melayani kebutuhan pengelolaan
hutan masa kini dan masa yang akan datang. Ciri-ciri PWH yang merupakan
persyaratan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari dapat dilihat dari
desainnya yang memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Keselamatan
kerja karyawan dan umum.
2. Sesuai
dengan bentang alam.
3. Mengakomodasi
50-100 tahun banjir.
4. Menghindari
kerusakan kawasan lindung dan gangguan terhadap flora dan fauna langka atau
yang dilindungi.
5. Bahaya
erosi.
6. Pengembangan
akses masyarakat setempat.
Tujuan PWH adalah untuk memudahkan
masyarakat untuk mengambil sumber daya hutan secara optimal atau dapat
dikatakan untuk mempermudah pengelolaan hutan sedemikian rupa sehingga dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat akan bahan-bahan kayu dan kegunaan hutan yang
tidak dapat diraba secara aman dan murah dengan memperhatikan kualitas
lingkungan, sedangkan sasarannya adalah untuk dapat dicapai dengan jalan
memberikan pelayanan untuk pengangkutan karyawan keseluruh kawasan hutan
ketempat yang aman untuk mengadakan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan, perlindungan, dan perawatan hutan, pemungutan hasil hutan dan
pengangkutan peralatan.
Dalam pembuatan jalan hutan
diusahakan jalan tersebut dapat menghubungkan satu tempat dengan tempat yang
lain dengan jarak sesingkat mungkin, sehingga jalan tersebut mampu memberikan
kelancaran dalam proses PWH. Akan tetapi kenyataan dilapangan merupakan
pekerjaan yang sangat sulit dikerjakan, hal ini dikarenakan banyaknya rintangan
dilapangan serta keadaan topografi yang sedemikian rupa sehingga dalam
perencanaan pembuatan jalan hutan haruslah sesuai dengan keadaan dilapangan.
Dalam hal pembuatan jalan
dilapangan, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan antara lain :
a. Faktor
metode eksploitasi hasil hutan.
b. Bentuk
topografi dilapangan.
c. Iklim dan
cuaca dalam wilayah tersebut.
d. Jenis tanah
serta kondisi tanah dilapangan.
e. Jumlah dan
kemampuan kendaraan yang direncanakan untuk pengangkutan.
f. Keadaan
sosial ekonomi masyarakat disekitar kawasan hutan.
Selain faktor tersebut, yang paling
penting untuk diperhatikan adalah ketersediaan biaya untuk pembuatan jalan
tersebut yang nantinya juga berpengaruh terhadap penentuan kelas jalan yang
dibuat.
B. Tujuan
Ada beberapa tujuan yang dapat
dicapai dari pelaksanaan praktikum ini yaitu :
1. Mahasiswa
diharapkan mampu memahami dan membaca peta kontur.
2. Memberi
latihan cara mengklasifikasikan wilayah hutan berdasarkan tingkat kemiringan
lereng.
3. Memberi
latihan dalam merencanakan jaringan jalan hutan.
4. Mengetahui
cara memilih alternative pembukaan wilayah hutan yang optimal.
5. Memberikan
latihan menghitung volume dan biaya galian serta timbunan sesuai dengan
aligment yang telah direncanakan.
6. Mampu
menghitung biaya pembuatan jaringan jalan hutan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Jaringan Jalan
Didalam perencnaan jalan hutan
dikenal istilah kerapatan jalan (Roat Density) yaitu jumlah panjang jalan
rata-rata persatuan luas (m/ha). Menurut
Djoko Asmoro (1990), Jaringan jalan merupakan satu kesatuan sistem terdiri dari
sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder yang terjalin
dalam hubungan hirarki.
Menurut Soeparto dan Mardikanto
(1985), jalan hutan adalah suatu bentuk jaringan jalan didalam hutan yang
terdiri dari kumpulan potongan-potongan jalan yang bersambung satu sama lain
dan merupakan satu kesatuan guna melayani kebutuhan pengangkutan. Pada daerah
datar umumnya jaringan jalan merupakan kumpulan-kumpulan jalan-jalan lurus
dengan sedikit belokan, situasi ini memungkinkan angkutan yang cepat dan
pendek. Tetapi kenyataan dilapangan tidak selalu berbentuk lurus karena bentuk
topografi hutan yang tidak rata sehingga menyebabkan jaringan jalan yang dibuat
terpaksa memiliki banyak belokan, sehingga jalan yang dibuat menjadi panjang
dan tidak sesuai dengan perencanaan sebelumnya.
B. Penampang Memanjang Jalan
Tinggi permukaan tanah yang telah
dilalui oleh as jalan tidak selalu sama dengan tinggi permukaan tanah asli,
karena itu untuk mendapatkan tinggi muka tanah sebagai as jalan perlu dibuat
pendakian-pendakian yang lebih lembut. Untuk itulah perlu dibuat garis perataan
yang merupakan badan jalan dimana as jalan nantinya akan melalui garis perataan
tersebut. Hal ini dimaksudkan agar pendakian-pendakian yang didapat dipenampang
memanjang dapat diminimalisir.
Dengan adanya garis perataan maka
pada penampang memanjang akan terlihat adanya galian dan timbunan yang
merupakan selisih antara tinggi tanah asli dengan perataan as jalan yang bearti
permukaan garis perataan. Jika permukaan tanah asli lebih tinggi dari garis
perataan maka akan terdapat galian, dan sebaliknya jika permukaan tanah asli
lebih rendahdari garis perataan maka akan dilakukan penimbunan tanah pada as
jalan.
C. Penampang Melintang Jalan
Penampang melintang jalan adalah
potongan melintang tegak lurus sumbu jalan, yang memperlihatkan bagian –bagian
jalan.Penampang melintang jalan yang akan digunakan harus sesuai dengan
klasifikasi jalan serta kebutuhan lalu lintas yang bersangkutan,demikian pula
lebar badan jalan, drainase dan kebebasan pada jalan raya semua harus
disesuaikan dengan peraturan yang berlaku.
Agar dapat diperoleh perkiraan
berapa besar volume pekerjaan tanah (dalam menduga besarnya volume tanah yang
akan digali dan ditimbun), maka perlu dibuat penampang melintang jalan.
Pekerjaan ini erat hubungannya dengan pekerjaan sebelumnya.
Pada penampang melintang jalan dapat
dilihat penampang memanjang permukaan tanah asal yang akan dilewati dan garis
perataan yang hendak digunakan sebagai as jalan. Atas dasar penampang memenjang
jalan, kita bisa membuat penampang melintang tanah asal dan penampang melintang
jalan. Bagian-bagian jalan yang dapat dilihat pada penampang melitang jalan
antara lain:
a. Selokan
(talud) yang terletak dikanan dan kiri jalan.
b. Bahu jalan /
jalur lunak (Berm) yang berdampingan dengan selokan.
c. Jalur jalan
yang dilewati kendaraan (badan jalan)
d. Penampang
melintang tanah asal
Dengan gambaran bagian-bagian jalan
pada penampang melintang tanah asal maka akan terlihat besarnya galian dan
timbunan yang akan dikerjakan suatu titik profil.
Apabila digabungkan antara penampang melintang tanah
dan penampang melintang jalan maka akan terlihat bentuk penampang melintang
galian dan timbunan. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
D. Daftar Pekerjaan Tanah
Untuk dapat menduga secara
keseluruhan besarnya galian dan timbunan pada pekerjaan pembuatan trace jalan
ini maka perlu dibuat daftar pekerjaan tanah. Untuk mengisi daftar ini perlu
dilakukan perhitungan terhadap luas galian dan timbunan yang ada pada setiap
titik profil berdasarkan penampang melintang yaitu dengan membagi daerah
tersebut menjadi beberapa bagian yang dapat berbentuk segi tiga siku-siku,
bujur sangkar, persegi panjang da lainnya agar perhitungan dapat lebih mudah
dan teliti. Pengunaan planimeter dapat digunakan untuk mendapatkan nilai yang
lebih akurat.
Luas galian dantimbunan dari
masing-masing titik profil dihitung dalam satuan millimeter. Untuk mendapatkan
luas galian dan timbunan yang sebenarnya dilapangan, maka luas galian galian
dan timbunan yang terdapat pada kertas grafik harus dibagi dengan 25 mm2 dan
kemudian dikalikan denagan 1 mm, karena skala yang digunakan pada penampang
melintang adalah 1: 200.
Setelah
memperoleh luas galian dan timbunan, maka volumenya dapat dihitung dengan
menggunakan prinsif seperti menghitung volume limas terpancang, yaitu dengan
rumus :Luas bidang atas + Luas bidang tanah x jarak antara kedua bidang.
Sesuai dengan prinsif tersebut maka
perlu kita cari terlebih dahulu luas masing-masing bidang galian dan timbunan
pada tiap-tiap titik profil. Setelah itu, barulah dicari rata-rata bidang
galian / timbunan antara dua titik profil yang berdekatan. Selanjutnya
dikalikan rata-rata bidang galian atau timbunan dengan jarak antara titik
profil yang berdekatan. Setelah itu menjumlahkan volume galian atau timbunan
sehingga dihasilkan taksiran kasar volume galian atau timbunan pada jalan yang
akan dibuat.
·
Perencanaan
Trace
Sebelum membuat jaringan jalan
hutan, dilakukan terlebih dahulu pemilihan trace jalan hutan yang akan dibuat
untuk mendapatkan jaringan jalan angkutan yang dapat mengeluarkan hasil hutan
dengan cepat dan lancar.selain itu, jaringan jalan yang dibuat hendaknya cukup
aman dan tidak memakan biaya yang besar. Pembuatan trace jalan dilakukan secara
bertahap, mulai dari persiapan sampai dengan pengukuran trace tetap (Soeripto
dan Mardikanto, 1985).
1. Persiapan
Untuk merencanakan jaringan jalan
hutan yang baik diperlukan peta-peta dan informasi lain yang berhubungan dengan
wilayah yang akan dibuka. Informasi tersebut diperlukan untuk memperlancar
pelaksanaan pembangunan jalan hutan. Peta-peta yang digunakan sebagai sumber
informasi antara lain peta topografi, peta hutan, peta kadaster, peta
pengairan, peta penafsiran potret udara, peta geologi dan peta tanah.
Dalam perencanaan jalan angkutan
hasil hutan, peta topografi dan peta hutan sangat diperlukan karena dari peta
tersebut dapat digambarkan beberapa trace yang mungkin akan dibuat dilapangan.
Dalam hal ini kita perlu membuat beberapa alternatif untuk menjaga jika terjadi
kegagalan dalam pelaksanaan sehingga dapat dengan mudah mencari trace yang
baru.
Dalam pembuatan trace, bentuk trace
yang lurus adalah bentuk yang terbaik karena memiliki jarak angkut yang pendek.
Penyimpangan dari bentuk trace yang lurus hanya diperbolehkan jika :
Ø Untuk
menghindari tanjakan yang melampaui batas maksimum kendaraan.
Ø Untuk
menghindari keadaan yang luar biasa seperti tanah longsor, tanah yang tidak
stabil dll.
Ø Untuk
menghindari kemungkinan pembuatan bangunan-bangunan yang sangat besar dan
mahal.
Ø Untuk
keperluan pembukaan sekunder wilayah hutan.
Berdasarkan keadaan-keadaan diatas,
maka trace yang akan dibuat nantinya terdiri dari garis-garis lurus dan
bagian-bagian busur lingkaran. Jika didapatkan suatu trace yang lurus dengan
jarak tempuh yang panjang dimana secara teknis dan ekonomis tidak memerlukan
tikungan, maka perlu dibuat tikungan-tikungan kejut bila terasa adanya tanjakan
atau turunan ditempat tersebut agar sipengemudi tidak terlena atau mengantuk
karena jalan yang monoton.
2. Penyelidikan
Lapangan
Penyelidikan lapangan yang dilakukan
adalah secara kasar, yang bertujuan untuk mengenal bentuk sebenarnya
dilapangan. Penyelidikan dilakukan dari tempat-tempat yang agak tinggi supaya
didapat pandangan yang luas atas seluruh lapangan. Titik-titik yang ada di
dalam peta dan dapat dicapai dilapangan harus dipelajari dengan seksama untuk
menjaga kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul.
3. Pengukuran
Trace Sementara
Setelah membuat trace sementara
dilapangan, maka akan dilakukan pengukuran trace sementara dan digambarkan
dipeta, sehingga letak trace sementara terhadap kelompok hutan yang akan dibuka
dan jalan-jalan lain yang telah dibuat dapat dipelajari lebih lanjut.
4. Penetapan
Trace
Setelah tahap diatas selesai, maka
kita perlu menetapkan trace secara definitif. Pekerjaan ini mencakup pemasangan
petak-petak sumbu berukuran 50 x 8 x 8 cm dengan jarak 20 m antara satu dengan
yang lainnya pada jalan yang lurus dan 50 m atau 10 m untuk belokan.
5. Pengukuran
Trace Tetap
Pengukuran trace secara definitif
dilengkapi dengan pengukuran aliran-aliran sungai yang dipotong oleh trace
diukur dandipelajari dan dibuat dilapangan, barulah melakukan pengukuran trace
tetap yang tujuannya untuk mendapatkan bahan untuk membuat gambar situasi,
gambar denah, penampang melintang dan membujur dari trace jalan.
BAB III
HASIL DAN
PEMBAHASAN
A. Pembuatan Trase Jalan
a. Menghubungkan
titik A, titik B dan titik C pada peta kontur, dengan ketentuan :
Ø Tanjakan
maksimum ( daerah datar 5 %, daerah pegunungan sedang 6 – 7 %,
daerah pegunungan berat 8 -10 %, dan belokan 5 %)
Ø Jari-jari
belokan maksimum adalah 50 m
Ø Jarak antar
titik profil pada tempat yang lurus maksimum 100 m, sedangkan pada belokan diletakkan tiga titik profil
masing-masin pada awal, tenggah dan
akhir.
b. Meletakkan
titik-titik profil sepanjang trace yang menghubungkan titik A, titik 1- 17 dan
titik B.
c. Membuat
daftar pembantu pada saat permulaan menggambarkan trace pada peta agar dapat
mengikuti ketentuan yang diberikan.
d. Membuat
garis-garis patah pada permulaan menggambarkan trace dari titik A hingga ke titik
B.
Gambar 1
Trase Jalan dan Jarak Antar Titik, Dari A Sampai Titik B
B. Pembahasan
Titik A adalah awal proyek dengan koordinat dan
elevasi seperti gambar diatas. Titik 1-17 Adalah titik-titik belokan atau
tikungan yang akan direncanakan. Titik B adalah titik terakhir.
Perencanaan Trace jalan peta
Topografi Skala 1 ; 25000 dilakukan pembesaran, untuk menetapkan trace jalan
dan dilakukan perhitungan-perhitungan Azimuth, Sudut Tikungan, dan Jarak P1.
Tahapan pembuatan jaringan jalan
antara lain adalah pembuatan trace, pembuatan penampang memanjang jalan,
pembuatan penampang melintang jalan, pembuatan daftar pekerjaan tanah, serta
penentuan biaya yang diperlukan. Pada penampang memanjang jalan ditarik garis
perataan yang merupakan as jalan yang akan digunakan dalam pengangkutan hasil
hutan.
Jumlah titik profil yang terdapat
pada pembuatan trace sebanyak 19 profil, yaitu titik A, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8,
9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17 dan B. dengan Lima belokan yang terdapat pada
titik 3, 6, 7, 14 dan 15 dengan Derajat Lengkungan yang berbeda-beda.Pada Trace
jalan yang telah dibuah melintasi sungai dan mengharuskan kita untuk membuat
sebuah Jembatan non permanen.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perencanaan hutan adalah suatu
bagian proses pengelolaan hutan untuk memperoleh landasan kerja dan landasan
hukum agar terwujud ketertiban dan kepastian hukum dalam pemanfaatan hutan
sehingga menunjang diperolehnya manfaat hutan yang optimal, berfungsi serbaguna
dan pendayagunaan secara lestari.
Pebuatan jalan dapat dilakukan pada daerah
berawa, daerah dengan lereng curam ataupun pada daerah berbatu, tetapi biaya
yang dikeluarkan pastilah sangat besar. Pembuatan jalan hutan hendaknya
ditinjau dari segi ekonomi dalam hubungannya dengan kesulitan tentang
kelerangan dan temporarinya penggunaan jalan ini. Utamanya, diluar persoalan,
dapat diberikan pelindung pada jalan ini dengan penutupan oleh aspal atau semen
yang sudah pasti memerlukan biaya sangat besar.
Tahapan pembuatan jaringan jalan
antara lain adalah pembuatan trace, pembuatan penampang memanjang jalan,
pembuatan penampang melintang jalan, pembuatan daftar pekerjaan tanah, serta
penentuan biaya yang diperlukan. Pada penampang memanjang jalan ditarik garis
perataan yang merupakan as jalan yang akan digunakan dalam pengangkutan hasil
hutan. Jumlah titik profil yang terdapat pada pembuatan trace sebanyak 19
profil termasuk titik A dan titik profil B dengan Lima belokan dan membuat
Sebuah Jembatan karena Jalur yang dilewati melintasi sungai.
B. Saran
Kami Sadari Laporan pembuatan Trace
Jalan IUPHHK-HA ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami harap pihak
terkait dapat memberi masukkan agar kedepannya Laporan yang kami buat bisa
lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Isa. 2003. Perencanaan Pembuatan Jaringan Jalan Hutan.
Fakultas Kehutanan Universitas tanjungpura Pontianak: Pontianak
Oka dan Suiji Kusumo, 1972, Pedoman Pembuatan Jalan Angkutan Hutan, Proyek
Asisten LPHH Perhutani: Jawa Timur.
Said,
Masnuri Ir, dkk. 1986. Eksploitasi Hutan. Fakultas Pertanian Universitas
Tanjungpura: Pontianak
Sofyan.
1976. Dasar-Dasar Konstruksi Jalan Hutan, Pengantar KulturTeknis Bagian 1. Yayasan
Fahutan Universitas Gajahmada: Yogyagkarta.
Widodo,
Soegeng Ir. H. 2000, Prinsip dan Praktik Pemanenan Hutan di Indonesia.
Departememn Kehutanan dan Perkebunan dan Natural Resources Management Program
Comments
Post a Comment